Memaknai Asas Terbuka Untuk Umum Pada Persidangan Secara Elektronik
Oleh: Fakhir Tashin Baaj, SH
Hakim di Pengadilan Agama Kuala Kapuas
Sebagai upaya pemutakhiran hukum acara yang dilakukan oleh Mahkamah Agung khususnya untuk menghadapi arus digitalisasi yang tidak terbendung, tepatnya sejak kali pertama dirancang pada November 2017 hingga diperkenalkan kepada publik pada Juni 2018, akhirnya Mahkamah Agung Republik Indonesia secara resmi merilis aplikasi e-Court pada hari Jumat 13 Juli 2018. Aplikasi e-Court merupakan perwujudan dari implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 03 tahun 2018 Tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik (untuk selanjutnya disebut Perma 3 Tahun 2018).[1] Perma 3 Tahun 2018 merupakan inovasi sekaligus komitmen bagi Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam mewujudkan reformasi di dunia peradilan Indonesia (justice reform) yang menyinergikan peran teknologi informasi (information technology) dengan hukum acara (information technology for judiciary).
Hadirnya Aplikasi e-Court ini tentunya akan mengubah paradigma aparatur peradilan khususnya dalam administrasi perkara, di samping itu juga akan mengubah citra pengadilan yang kini semakin canggih dengan adanya peran teknologi informasi. Aplikasi made in Mahkamah Agung ini merupakan sumbangsih untuk dunia peradilan Indonesia sekaligus sebagai jawaban atas Instruksi Presiden Republik Indonesia untuk mendongkrak peringkat Indeks Kemudahan dalam Berusaha (Ease of Doing Business/EODB) melalui sektor yudisial. Kemudahan dalam berusaha (Ease of Doing Business/EODB) ialah sebuah indeks yang dikaji oleh Bank Dunia (World Bank) yang mencerminkan daya tarik investasi dari segi kebijakan Pemerintah. [2]
Dari sisi pihak berperkara, kemudahan dalam berusaha (Ease of Doing Business/EODB) tercermin dengan meningkatnya tren penggunaan aplikasi e-Court. Perkara perdata, perdata agama, dan tata usaha negara yang didaftarkan melalui sistem e-Court sepanjang tahun 2024 berjumlah 410.754 perkara. Jumlahnya meningkat 30,84% jika dibandingkan dengan tahun 2023 yang berjumlah 313.947 perkara.[3] Pengguna layanan sistem peradilan elektronik pada tahun 2024 sebanyak 348.696 yang terdiri atas pengguna terdaftar sebanyak 47.697 (13,68%) dan pengguna lainnya sebanyak 300.999 (86,32%). Jumlah tersebut meningkat sebesar 11% jika dibandingkan dengan tahun 2023 yang berjumlah 313.321.[4] Jika hanya melihat grafik data, tentu tidak bisa dipungkiri bahwa penggunaan aplikasi e-Court menunjukkan lonjakan positif dalam kemajuan hukum formil di Indonesia. Namun, bukan berarti implementasinya tanpa celah dan tidak ada ruang untuk berkembang.
Tujuh tahun setelah aplikasi e-Court diluncurkan, dasar hukum pelaksanaannya telah mengalami beberapa penyempurnaan guna menyesuaikan kebutuhan pihak berperkara untuk beracara secara elektronik dengan lebih mudah dan tanpa menyalahi formalitas hukumnya. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 Tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik (untuk selanjutnya disebut Perma 1 Tahun 2019) yang mana telah diubah dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2022 Tentang Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan secara Elektronik (untuk selanjutnya disebut Perma 7 Tahun 2022) merupakan dasar hukum utama pelaksanaan persidangan secara elektronik melalui aplikasi e-Court dengan ditambah beberapa surat keputusan baik yang dikeluarkan Ketua Mahkamah Agung maupun dari masing-masing Direktorat Jenderal tentang petunjuk teknis administrasi dan persidangan secara elektronik. Aturan tentang administrasi dan persidangan di pengadilan secara elektronik ini dimaksudkan sebagai landasan hukum penyelenggaraan administrasi perkara persidangan secara elektronik di pengadilan untuk mendukung terwujudnya tertib penanganan perkara yang profesional, transparan, akuntabel, efektif, efisien dan modern.
Perma 7 Tahun 2022 menjelaskan bahwa pengaturan administrasi perkara dan persidangan secara elektronik berlaku pada pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding untuk jenis perkara perdata, perdata khusus, perdata agama, tata usaha militer, dan tata usaha negara. Terhadap perkara-perkara tersebut, lex generalis formil beracaranya masih mengacu pada Het Herziene Indonesisch Reglement (untuk selanjutnya disebut HIR) dan Reglement Buitengewesten (untuk selanjutnya disebut RBg). Pemberlakuan Perma 1 Tahun 2019 beserta perubahan dan petunjuk teknisnya tersebut telah mengubah beberapa ketentuan penting di dalam HIR yang sebelumnya masih dipertahankan dalam proses beracara di pengadilan. Salah satunya adalah terkait dengan asas persidangan terbuka untuk umum dalam persidangan.
Asas Terbuka Untuk Umum dalam Hukum Acara Perdata di Indonesia
Asas persidangan terbuka untuk umum secara general diatur pada HIR dan RBg, serta Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (untuk selanjutnya disebut UU Kekuasaan Kehakiman) yang menyatakan bahwa “semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain”. Menurut Yahya Harahap, sistem pemeriksaan yang dianut HIR atau RBg adalah proses acara pemeriksaan secara lisan (oral hearing) atau mondelinge procedure dan tidak menganut beracara secara tertulis (schriftelijke procedure) sebagaimana yang dulu diatur dalam Rechtsvordering (RV). Sistem pemeriksaan secara lisan, sangat erat kaitannya dengan prinsip persidangan terbuka untuk umum. Sedangkan dalam proses yang berlangsung secara tertulis, pada dasarnya tidak begitu kokoh mempertahankan prinsip ini.[5] Secara lebih lanjut M. Yahya Harahap menyebutkan bahwa setiap orang yang akan mengikuti proses persidangan dapat hadir dan diperbolehkan memasuki ruang sidang, pintu dan jendela di sekitar ruang sidang juga harus terbuka lebar. Ini namanya sidang terbuka untuk umum. Berangkat dari doktrin tersebut, maka makna persidangan terbuka untuk umum benar-benar terpenuhi dan proses persidangan dilakukan secara terbuka untuk umum sehingga persidangan menjadi jelas, jelas untuk dilihat dan diketahui oleh orang lain atau seluruh masyarakat dan sidang tidak diperbolehkan dalam pelaksanaannya. dalam bisikan dan cara yang gelap. Tujuan utama prinsip ini, untuk menjaga tegaknya peradilan yang adil atau fair trial.
Persidangan dan putusan diucapkan dalam sidang pengadilan yang terbuka untuk umum atau di muka umum, merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari asas fair trial. Menurut asas fair trial, pemeriksaan persidangan harus berdasarkan proses yang jujur sejak awal sampai akhir. Dengan demikian, prinsip peradilan terbuka untuk umum mulai dari awal pemeriksaan sampai putusan dijatuhkan, merupakan bagian dari asas fair trial. Tujuan utamanya, untuk menjamin proses peradilan terhindar dari perbuatan tercela (misbehavior) dari pejabat peradilan.[6] Dengan persidangan yang terbuka untuk umum, maka akan ada mekanisme kontrol eksternal terhadap proses persidangan yang berjalan. Audiens atau pengunjung sidang dapat melihat proses persidangan secara utuh dan secara tidak langsung merupakan pengontrol eksternal terhadap proses persidangan.[7]
Berdasarkan asas tersebut, secara teknis persidangan harus dilakukan secara terbuka untuk umum, dalam arti masyarakat diizinkan untuk menghadiri, menyaksikan, dan mendengarkan proses persidangan di pengadilan. Apabila hakim menyelenggarakan sidang pengadilan secara tertutup, dapat mengakibatkan kebatalan putusan hakim tersebut, kecuali undang-undang mengatur sidang tertutup tersebut secara khusus.[8]
Secara lebih lanjut, Yahya Harahap menyatakan bahwa melalui prinsip terbuka untuk umum, dianggap memiliki efek pencegah (deterrent effect) terjadinya proses peradilan yang bersifat berat sebelah (partial) atau diskriminatif, karena proses pemeriksaan sejak awal sampai putusan dijatuhkan, dilihat, dan didengar oleh publik. Bahkan dipublikasi secara luas. Hal ini membuat hakim lebih berhati-hati melakukan kekeliruan (error) dan penyalahgunaan wewenang pada satu segi, dan mencegah saksi melakukan sumpah palsu pada sisi lain. Hal ini dilakukan demi menjamin atau mempertanggungjawabkan objektivitas proses pemeriksaan perkara, persidangan pada prinsipnya harus dilakukan terbuka untuk umum, yang artinya masyarakat diizinkan untuk menghadiri, menyaksikan dan mendengarkan proses persidangan. Demikian pula pembacaan putusan pengadilan wajib dilakukan dalam persidangan yang terbuka untuk umum.[9]
Pelanggaran prinsip ini akan mengakibatkan putusan hakim tersebut batal demi hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan:
Pasal 13
(1) Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain.
(2) Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
(3) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Salah satu ketentuan yang membolehkan pemeriksaan persidangan dengan pintu tertutup, diatur dalam Pasal 33 PP Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menegaskan, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup. Dalam kasus perceraian terjadi akibat hukum yang bertolak belakang dengan prinsip sidang terbuka untuk umum. Dalam pemeriksaan perceraian, apabila dilakukan terbuka untuk umum, mengakibatkan pemeriksaan batal demi hukum. Akan tetapi, meskipun dimungkinkan melakukan pemeriksaan secara tertutup, merujuk pada Pasal 13 ayat (2) UU Kekuasan Kehakiman, putusannya hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Asas sidang terbuka untuk umum ditegakkan melalui pengucapan oleh Hakim di ruang sidang gedung pengadilan pada saat persidangan. Pada setiap gedung tersebut telah ditentukan beberapa ruang sidang secara khusus. Hanya di dalam ruangan itu boleh dilakukan pemeriksaan dan pengucapan putusan. Tidak boleh dilakukan di luar ruangan yang telah ditentukan sebagai ruang sidang. Lalu bagaimana ketentuan asas terbuka untuk umum pada medium ruang sidang di era digital yang digagas Mahkamah Agung dengan peluncuran aplikasi e-Court?
Tantangan Implementasi Asas Terbuka Untuk Umum dalam Persidangan Secara Elektronik
Pasal 27 Perma No. 1 Tahun 2019 menyatakan bahwa persidangan secara elektronik yang dilaksanakan melalui Sistem Informasi Pengadilan pada jaringan internet publik, secara hukum telah memenuhi asas dan ketentuan persidangan terbuka untuk umum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Sistem Informasi Pengadilan (untuk selanjutnya disebut SIP) itu sendiri merupakan seluruh sistem informasi yang disediakan oleh Mahkamah Agung untuk memberi pelayanan terhadap pencari keadilan yang meliputi administrasi, pelayanan perkara, dan persidangan secara elektronik. Perma 1 Tahun 2019 maupun petunjuk teknisnya tidak menjelaskan lebih lanjut tentang bagaimana keterlibatan masyarakat umum dalam mengakses perkara pada persidangan secara elektronik. Dengan demikian pemanfaatan SIP yang dimiliki Mahkamah Agung belum dapat mengakomodir sepenuhnya ketentuan prinsip terbuka untuk umum yang diartikan sebagai masyarakat umum diizinkan untuk menghadiri, menyaksikan, dan mendengarkan proses persidangan secara langsung sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya,
Salah satu SIP yang menjadi garda terdepan dalam administrasi persidangan secara elektronik adalah aplikasi e-Court. Terhadap sistem e-Court sekarang, yang dapat mengakses informasi, dokumen, alat bukti serta putusan/penetapan di persidangan secara elektronik di luar Hakim dan Panitera di satuan kerja tersebut hanyalah pengguna terdaftar (advokat) atau pengguna lainnya dalam perkaranya masing-masing. Akses untuk mengetahui jalannya persidangan secara elektronik sebagai pemenuhan asas terbuka untuk umum nyaris tidak dapat dilakukan oleh masyarakat umum. Walaupun dalam keadaan tertentu, masyarakat umum dapat meminta akses untuk melihat pindaian berkas atau bahkan minuta asli persidangan (bundel A dan B) setelah perkara selesai, namun hal tersebut bukanlah bentuk pemenuhan asas terbuka untuk umum di mana pada setiap agenda persidangan siapapun mendapat akses untuk ‘menghadiri’ secara elektronik. Hal ini dikarenakan perbuatan tersebut bukanlah mengakses proses atau jalannya persidangan, melainkan sekadar membaca hasil/transkrip proses atau jalannya persidangan yang telah selesai.
Tidak adanya akses masyarakat secara umum terhadap persidangan secara elektronik juga akan menimbulkan potensi masalah terhadap pihak ketiga yang memiliki kepentingan dalam suatu perkara (intervensi). Dari mana pihak ketiga dapat mengetahui bahwa terdapat perkara antara penggugat dan tergugat yang sedang berlangsung di pengadilan.[10] Potensi masalah tersebut tidak akan terjadi apabila intervensi yang dilakukan bersifat voeging dan vrijwaring yang mana intervenor membela atau ditarik salah satu pihak. Namun, dalam hal tussenkomst yang tidak memihak salah satu pihak baik penggugat dan tergugat tetapi demi membela kepentingannya sendiri tentu haknya akan sedikit tereduksi dengan tidak adanya akses terhadap perkara.
Ketentuan lain tentang asas terbuka untuk umum dalam persidangan elektronik diatur dalam Pasal 26 ayat (4) Perma 7 Tahun 2022 yang menjelaskan bahwa pengucapan putusan/penetapan dengan cara pengunggahan salinan putusan/penetapan ke dalam SIP secara hukum telah memenuhi asas sidang terbuka untuk umum. Walaupun akses terhadap isi putusan/penetapan belum dapat diakses masyarakat umum melalui aplikasi e-Court, namun hal ini telah diakomodir melalui SIP lain yaitu Direktori Putusan Mahkamah Agung yang merupakan wadah publikasi dokumen elektronik putusan seluruh pengadilan di Indonesia.
Tantangan terhadap pemenuhan prinsip persidangan terbuka untuk umum dalam persidangan secara elektronik juga sempat disinggung United Kingdom House of Commons di bidang Komisi Yusidial. Dalam hasil rapat pada tahun 2022 dengan tajuk “Open justice: court reporting in the digital age”, disebutkan bahwa:
“Court reform has led to some challenges for open justice. Online procedures introduced in the criminal and civil courts have been designed to increase efficiency but some have argued that they have had a negative impact on transparency. In particular, the Single Justice Procedure has long been criticised for being insufficiently transparent. We recommend that HMCTS[11] should review the procedure and ensure that it is as transparent as proceedings in open court.”[12]
(terjemahan: Reformasi pengadilan telah menyebabkan beberapa tantangan bagi prinsip persidangan terbuka untuk umum. Prosedur online yang diperkenalkan di pengadilan pidana dan perdata dirancang untuk meningkatkan efisiensi, tetapi beberapa orang berpendapat bahwa prosedur tersebut memiliki dampak negatif terhadap transparansi. Secara khusus, Single Justice Procedure telah lama dikritik karena kurangnya transparansi. Kami merekomendasikan agar HMCTS melakukan tinjauan terhadap prosedur ini dan memastikan bahwa prosedur tersebut setransparan seperti proses di pengadilan terbuka.)
Dengan tantangan yang hampir serupa di Indonesia, pemenuhan prinsip persidangan terbuka untuk umum, tentu tetap harus diperhatikan teknis implementasinya. Dengan pesatnya perkembangan dunia teknologi informasi khususnya di bidang peradilan, pengembangan persidangan elektronik melalui e-Court dan SIP lain secara langsung mengubah cara publik mengakses proses pengadilan. Untuk itu harus dipastikan bahwa adanya pendekatan yang seimbang terhadap capaian prinsip persidangan terbuka untuk umum dan efektivitas persidangan agar pengawasan publik terhadap keadilan dapat terjamin tanpa merusak kualitas keadilan yang diterapkan di pengadilan.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa selain hakim, panitera, serta pengguna (terdaftar maupun lainnya) hampir tidak bisa mengakses proses persidangan khususnya pada saat penyampaian jawab jinawab melalui dokumen elektronik (gugatan, permohonan, jawaban, replik, duplik, kesimpulan) serta hasil putusan yang dilakukan secara elektronik melalui e-Court. Tentu hal ini tidak sesuai dengan prinsip persidangan yang terbuka untuk umum yang mana jika diqiyaskan dengan persidangan secara langsung dan fisik bertemu, dilakukan di ruang sidang yang terbuka dan dapat diakses oleh seluruh masyarakat tanpa hambatan.
Solusi yang dapat diusulkan, yaitu pembaharuan aplikasi e-Court dengan menambahkan akses masyarakat umum untuk mengikuti persidangan secara elektronik yang dinyatakan terbuka untuk umum. Akses ini harus dimaknai sebagai suatu metode yang dapat digunakan secara ‘user friendly’ oleh masyarakat pada umumnya. Masyarakat umum harus diberikan akses pada perkara yang persidangan secara elektroniknya dinyatakan untuk umum untuk mengakses dokumen persidangan yang diunggah para pihak sebagai pengganti proses jawab jinawab secara langsung. Cara yang paling memungkinkan adalah adanya mekanisme tambahan menu bagi masyarakat umum untuk dapat meminta kepada majelis hakim pada perkara tertentu untuk dapat mengakses dokumen-dokumen elektronik pada proses persidangan tersebut. Tentu hal ini juga harus ditambah dengan proses verifikasi ketat terkait siapa user yang meminta dan apa alasan permintaan dokumen persidangan tersebut agar dokumen persidangan tersebut tidak disalahgunakan dan merugikan pihak berperkara. Mekanisme semacam ini telah dilakukan oleh Kantor Administratif Peradilan Amerika Serikat dengan menggunakan aplikasi PACER (Public Access to Court Electronic Records). PACER menyediakan akses publik elektronik ke catatan pengadilan federal di Amerika Serikat. PACER juga memberi publik akses instan ke lebih dari 1 miliar dokumen yang diajukan di semua pengadilan federal. Inovasi seperti PACER dapat direplikasi dan dikembangkan untuk ditambahkan menu sejenis di aplikasi e-Court.
Dengan begitu pesatnya arus informasi teknologi di segala aspek kehidupan, Penulis berharap Mahkamah Agung dapat beradaptasi secara dinamis dengan tetap mengedepankan hukum formil yang rigid demi tetap dipertahankannya hukum materiil bagi pihak berperkara. Perubahan dari aspek formal tidak boleh dimaknai sebagai perubahan tempat bersidang yang sebelumnya di ruang sidang secara fisik menuju ruang sidang secara digital saja, namun harus tetap mengedepankan substansi formilnya sehingga tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi hierarkinya.
[1] Dr. Kurniawan T R I Wibowo, SH., MH, CPL., CCD., CTA, Adversarial Sistem Dalam Menjawab Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Menuju Masa Revolusi 4.0, https://www.academia.edu/40305567/Adversarial_Sistem_Dalam_Menjawab_Sistem_Peradilan_Pidana_di_Indonesia_Menuju_Masa_Revolusi_4_0, diakses pada 03 Agustus 2025.
[2] Infografis e-Court oleh Kelompok Kerja Kemudahan Berusaha Mahkamah Agung.
[3] Mahkamah Agung, Laporan Tahunan Tahun 2024 Mahkamah Agung, hlm. 127.
[4] Ibid., hlm. 128.
[5]M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 71.
[6] Geoffrey Robertson QC, Freedom, the Individual and the Law, (New York: Penguin Book, 1993), hlm. 341
[7]M. Natsir Asnawi, Hukum Acara Perdata – Teori, Praktik, dan Permasalahannya di Peradilan Umum dan Peradilan Agama, (Yogyakarta: UII Press, 2019), hlm. 37.
[8]Pasal 179 ayat (1) HIR dimaknai oleh doktrin hukum bahwa menurut hasil-hasil pemeriksaan perkara di persidangan pengadilan, dengan memperhatikan peraturan tentang pembuktian dan pula dengan memperhatikan hukum perdata material yang berlaku antara kedua belah pihak, maka hakim mengambil keputusan dalam sidang, tertutup tanpa hadirnya kedua belah pihak dan para penonton, yang mungkin merupakan keputusan sela atau keputusan akhir, semuanya ini tergantung daripada tingkat pemeriksaan perkara itu.
[9] M. Yahya Harahap, Op. Cit.
[10] Bernadette Mulyati Waluyo, Asas Terbuka Untuk Umum dan Kehadiran Fisik Para Pihak Dalam Sidang di Pengadilan Negeri Pasca Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019, Veritas et Justicia, Volume 6 Nomor 1, hlm. 247.
[11] House of Commons, Justice Committee, Open justice: court reporting in the digital age, United Kingdom, 1 November 2022, hlm. 4.
[12] HMCTS adalah singkatan dari His Majesty's Courts and Tribunals Service –sebuah Lembaga eksekutif di Inggris di bawah Kementerian Yudisial yang bertanggung jawab pada administrasi peradilan di Inggris dan Wales.